Senin, 25 Mei 2020

Kumpulan atur sungkem ing riyaya 2020

Sugeng siyang, anakku....
Mugi gusti tansah nyembadani menapa ingkang dados gegayuhanmu. Ing riyaya menika ugi dados pepanggihan pungkasan pasinaon;
Bu endah nyuwun pangapunten awit sedaya kalepatan anggenipun mucal, mboknenawi sadangu anggenipun srawung, anggenipun micara, anggenipun maringi tugas kathah kalepatan. 

Nyangkingke berkat
Berkate Juminten
Menawi lepat
Nyuwun pangapunten

Sugeng mengeti riyaya kanthi rena pengglih, mugi sedaya ibadah lan tumindak kita ing wulan ramadhan tinampi marng Gusti ugi kita kalebet golongan tiyang ingkang taqwa. 

Matur nuwun, mangga sami nyerat atur pangapura mawi basa bocah-bocah piyambak. 🤗🤗🤗 

Minggu, 24 Mei 2020

Ketika Kepercayaan Tergadaikan

Kamu jatuh, 
Ya, jatuh dalam kubangan yang sama.

Bagaimana bisa kepercayaanmu digadaikan begitu saja? 
Marah? Iya. Apa hakmu? 
Berkaca dan lihatlah. 
Ketika yang menyakitimu justru adalah orang terdekatmu, 
Bahkan sampai tega sengaja menggadaikan kepercayaanmu, 
Lantas? 

Kembalilah berkaca. Hapus air mata itu. 
Tak ada yang lebih bisa mempercayaimu.
Kecuali, diri kamu sendiri. 

Bangkitlah. 
Bayangkan yang menyakitimu adalah wujud pedulinya denganmu. 
Tersenyumlah. 
Kamu kuat, kamu hebat. 
Sedalam apa ia menggadaikan kepercayaanmu, ia hanyalah orang yang didekatmu.

Merasa beruntunglah.
Bukan diri kamu
Bukan raga kamu
Bahkan bukan hatimu 
Yang menjatuhkan dan menggadaikanmu. 


Kamu, bangkit dan tersenyumlah. 
Bilang pada dirimu. 
Kamu harus kuat dan yakin jika kamu bisa melewati semuanya. 
Sendiri. 

Jumat, 22 Mei 2020

23 Mei 2020; a Tribute to Someone Who Gave His Love Perfectly




(Kak, pulang bentar. Di rumah ada ular) pesan singkatku kuharap segera dibacanya.
10, 15, 20, 25....
Baru 25 menit kemudian pesan terbalas.
(Ok). Selalu jawaban pendek yang kuterima.
Pintu tertutup, lampu dimatikan, lengkap dengan kue tart yang sudah siap untuk dipersempahkan sebagai kejutan kecil-kecilan. Terdengar derap langkah yang turun dari sepeda motor.
"Dik, mana ularnya?" katanya setelah membuka pintu.
Dan....
"Selamat ulang tahun, Om. Selamat ulang tahun" teriak tiga keponakannya dari balik pintu.
"Astaghfirullah" seperti biasa, jawaban pendek.
"Selamat ulang tahun, Om Ain" aku membawa keluar kue lengkap dengan lilin angka 28 diatasnya.
Aku melihat ada raut terharu diwajahnya namun segera diubahnya menjadi tawa bahagia dengan menggendong keponakan yang ke-3.
"Mana ularnya, mana?" ledeknya menghampiriku sambil mencubit kecil hidungku.
"He.. he.."
"Ulang tahun, ya, Nang. Wis kasembadan apa sing mbok pengini (Semoga tercapai apa saja yang menjadi keinginanmu,-red)" lanjut Ibu, dari balik pintu kemudian mencium pipi dan dahi putra bungsunya itu.
"Ayo, segera tiup lilin. Sebentar lagi upacara Api Unggun akan dimulai" ajakku. Aku tahu hari ini beliau akan menjadi Pembina Upacara Api Unggun di perkemahan yang dilaksanakan di lapangan dekat rumahnya.

Setelah tiup lilin dan memakan sedikit kue sebagai ceremony, beliau langsung pamit untuk kembali ke perkemahan. Waktunya tidak banyak, tapi kami tahu beliau selalu menyempatkan hadir setiap ada yang membutuhkan.

Itu, perayaan yang pertama dan terakhir. Selepas itu tak ada perayaan apapun. Kita paham, dalam kondisi yang sudah berkeluarga, perayaan seperti itu hanya membutuhkan pemikiran tak lebih dari 1%. Masih banyak yang lebih dan butuh kita pikirkan.

"Kak, bangun. Bangun. Bangun, Kak" aku menepuk-nepuk pipinya. Berusaha membangunkannya. Tapi sampai beberapa menit tidak ada respon.
Kuganti posisiku tepat di depan beliau yang kala itu tidurnya membelakangiku. Kupegang kakinya, masih hangat. Dan tak sengaja terpegang kasur yang berada di bawah kaki beliau. Basah.
Aku berlari menuju ruang depan. Memanggil Ibu dan Bapak yang tidur di kamar depan.
Ibu seketika berlari. Kulihat Bapak menyusul.
"Lah apa iku mau (kenapa itu tadi,-red)" tanya Ibu.
"Ora ngerti aku, Bu. (Tidak tahu saya, Bu, -red)" jawabku masih berusaha membangunkan dengan menepuk-nepuk pipinya. Suara dengkuran hebat itu semakin lambat. Terlihat seperti penggalan-penggalan sangat sakit tetapi masih menikmati tidur.
Bapak juga berusaha membangunkan dengan memijat tangannya.
Ibu datang membawa teh hangat. Kusuapkan tetapi keluar kembali dengan pasti. Bapak masih berusaha membangunkan. Dan, helaan napas sangat panjang itu terdengar. Berakhir. Selesai.
Bapak menjerit. Ibu menjerit.
Aku? Aku diam memandang wajah yang aku sangat sadar tidak akan bangun kembali.
Tetiba saudara, keluarga datang. Berhamburan mendekat. Ibu angkatku terlihat menangis tersedu di dekapan Bapak angkatku. Aku bingung. Bingung.
Aku masih berada di samping Almarhum. Ibu yang disebelah kananku menangis, terdengar ocehan-racauan yang menyesali kenapa menantu pertama yang sangat disayanginya, pergi lebih dulu meninggalkan anaknya.

Aku? Masih diam. Seorang saudara berusaha membisikkan di telingaku.
"Tangiske, Ndhuk (Tangiskan, Nak)".
Aku masih diam. Diam. Memandang wajah itu. Batinku menyapanya.
"Innalilahi wa innailaihi rooji'uun. Hanya sampai disinikah, kau menemaniku, Kak? Baiklah, berangkatlah lebih dulu. Aku kuat. Bukankah janji kita, siapapun yang berangkat lebih dahulu, yang ditinggalkan harus kuat".

Dan, aku menemaninya pulang. Pulang kembali ke tanah kelahirannya untuk dimakamkan.
Entah berapa pelayat yang tak sempat kusapa. Mereka datang menguatkanku. Menguatkan dengan kalimat yang entah bisa kucerna atau tidak.

"Aku ridha, Kak. Berangkatlah. Aku yang menjadi saksi atas langkahmu, dan hidupmu yang kau gunakan mencari nafkah. Aku yang menjadi saksi atas tanggung jawabmu kepada keluargamu. Aku saksinya."

Kalimat perpisahan itu kuucapkan sebelum Almarhum dimandikan dan kemudian ditata adatnya sebuah kematian. Dimasukkan dalam keranda. Diantarkan dengan mobil Ambulance. Aku masih di dekatmu.
Tapi maafkan, aku masih belum kuat mengantarkanmu sampai ke peristirahatan terakhirmu.

Dan, kematian memisahkan kebersamaan kita.

Untukmu, kekasihku, yang sudah setahun lebih dua bulan pergi mendahuluiku...
Selamat tanggal 23 Mei 2020.
Selamat tanggal lahirmu, Kak.

Sudah 2 tahun kulalui tanggal 23 Mei.
Dan tahun ini;
Allah menakdirkan tanggal 24 April, tanggal lahirku, sebagai pembuka Ramadhan. Dan Allah-pun menakdirkan tanggal 23 Mei, tanggal lahirmu, sebagai penutup Ramadhan.
Tak akan kuberandai-andai. Karena bagiku bertemu di pusaramu untuk mengucapkan selamat tanggal lahirmu itu sudah cukup bahagia untukku sekaligus menutup Ramadhan ke-2 tanpamu.

Terimakasih atas segala cinta&kasih yang kau sempurnakan untukku.
Terimakasih.
Terimakasih.
Terimakasih.

Dan untuk anak-anak yang kau titipkan untukku, percayalah. Mereka menjagaku dengan baik. Sebaik apa yang kau berikan kepada mereka.

Selamat tanggal 23 Mei 2020 Kakak, teman, sahabat, suami yang pernah ditakdirkan bersama, namun belum sampai selamanya.
Ramadhan, terimakasih. Kututup dengan pesan singkatku untuknya.
"Aku, merindunya".