Kamis, 23 Januari 2020

mengunjungi diri



H+7, hari ke-23.

Lama tak mengunjungi diri, (mungkin) terkunci. Apa kabar kamu, apa kabar coretanmu, apa kabar rentetan katamu? Terlalu sibuk, sampai lupa memeluk. Tubuhmu butuh bercengkrama, dengan suatu yang biasa, biasanya.Sekedar menoreh, semoga kelak jadi rangkaian skenario yang akan dirimu ceritakan -ke mereka- anak cucumu lewat runtut takdirmu.

Foto diambil pukul 05.50-an. Matahari enggan muncul, kala malam itu dingin memukul. Deras air masih terkira, bagimu yang masih asyik bersibuk ria.
Mengajak salah satu dari mereka, meninggi lewat jalan sepi. Terjal. Rembang indah. Lengkok jalur bercerita tentang pegunungan yang sempat vulgar dengan cerita, yang kini tinggal kabar kabur.

Disisi jalur,  hijau padi tumbuh subur. Sangat subur. Diri berada di titik, dimana kendeng kala itu sangat diperjuangkan, demi sebuah misi, melindungi bumi.
Ah, tak menyangka akan disini, kaki menginjak dengan diri yang dari kemarin ringkih tergeletak.
Menikmati sudut keasrian ditengah hiruk pabik yang tetap beroperasi sesuai kesepakatan.Di lereng ini, sangat nyaman, sangat. Diri betah, dan semoga rentetan doa terkabul, untuk segera berbenah.Rembang, di sudut kotamu yang ujung, tak sekedar motivasi, tak sekedar ekspektasi, tak sekedar harapan diri. Banyak semoga, semoga, dan semoga untuk menetap di ujung kotamu. Karena disini, diri terkunjungi.

Rabu, 15 Januari 2020

Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?



Sangat kerdil, ketika tubuh disentil. Dengan sakit, raga tak bisa berkelit. Bagaimana bisa untuk biasa jika yang semula bergerak bebas kini harus yg terkulai lemas.

Tuhan tahu kapan waktu istirahatmu. Dipaksakan semaumu, Tuhan-pun akan menghentikanmu. Caranya, pasti tak akan kau sukai. Hanya Tuhan ingin melihatmu lebih mensyukuri. 

Sakit.
Waktumu memanjakan diri.
Waktumu berhenti.
Waktumu berpikir kembali.

Sampai mana kau telah bergerak, sampai mana kau bertindak, hingga Tuhan harus menegurmu, dengan sakitmu.


Terimakasih, Tuhan.
Diingatkan kembali untuk terus mensyukuri.
Nikmat sehat yang tak bisa dibeli, dengan apapun tak akan terganti. 

Fabiayyi alaai rabbikuma tukadzdzibaan....
Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan....
Merasakan pahit saat makan....
Keceriaan yang terasa ditahan....
Gerak-pun tak bisa dibebaskan....

Terimakasih, Tuhan.
Atas sakit yang Kau anugerahkan. 




Rembang, 13-16 Januari 2020
Manusia ringkih dalam sakitpun tetap berdalih. 

Minggu, 12 Januari 2020

R


Dihadapanmu memang jauh lebih sempurna. Kehidupan yang lengkap, tetapi belum tentu menetap. Dan dirimu jauh lebih sempurna. Kehidupan yang kau jalani dengan syukur pada Illahi. Perlu memandang yang di depan. Karena hidup memang sawang-sinawang. Dan jangan terlalu dipikir dihati. Tuhan tahu kapan waktunya kau menikmati. Jalanmu memang masih sendiri, dan Tuhan hanya ingin kamu senantiasa mensyukuri.


Jika mereka kamu rasa lebih bahagia, kita tak pernah tahu seberapa jalan terjal yang dilaluinya.

Bersyukur, nggih. đŸ€—


Pati, 12012020
Yang tak lelah menemani.

Sabtu, 11 Januari 2020

''Ada lah..."



Adalah kata ada lah, yang membuat rasa gundah.
Adalah kata ada lah, yang membuat rasa resah.
Adalah kata ada lah, yang membuat jiwa menyerah.

Dibalik kata itu menyimpan sesuatu.
Dibalik kata itu ada yang orang lain tak perlu tahu.
Dibalik kata itu faktanya ada hal yang tersembunyikan semu.


Lantas kenapa terucap jika tak ingin tersingkap?
Lantas kenapa terujar jika tak perlu tersiar?
Lantas kenapa terlontar jika tak seharusnya terpapar?


Belajar mengeja, yang tak menyisa luka.
Karena sekali saja membekas, menyembuhkan tak sebatas minta maaf akan tuntas.
Sangat perlu merangkai kembali, kepercayaan yang terlukai.


Rembang, 11012020
Manusia pecundang, yang baginya 'ada lah' sebuah pedang.

Jumat, 10 Januari 2020

i



Buku ini tergeletak di bangku dimana ketika dia pergi. Kembali memang, tapi tak menyentuhnya lagi.
'Dek, bacalah buku ini.' kalimat terakhir yang dilontarkannya ketika ia tahu, istrinya sangat riweh dengan setrikaannya.

Sepeninggalnya, si istri baru sempat membaca. Butuh waktu tujuh hari, untuk berani membuka, membaca setiap detail kata yang tersaji.

Tak akan berbicara tentang isi buku yang belum tentu benar tafsiranku. Hanya saja, ia selalu berpesan, Islam kita harus berdasar. Sebagaimana rumah tanpa lantai, terpanting gontai.

'Ngajimu jangan di YouTube' ingatnya, 'bisa jadi kita salah menafsirkan, akhirnya tersesatkan' tandasnya.

Siappp. Tentang Semar yang mengingat hidup, tentang Mbah Tejo kesan peng-analogi-an, dan masih banyak tugas membaca yang harus terselesaikan.

Kapan?

Kamis, 09 Januari 2020

'Dan'

Dan...


Jika kita menepi, bukan berarti
Jalan bergelombang itu tak bisa kita lewati.
Kita butuh berhenti, dan satu mendahului
Sekedar meraba yang terlewati nantinya
Hingga kamuflase kebahagiaan yang kita cipta
Fakta adanya.
Kita bahagia.

Derai gerimis, rintik tipis
Telah mampu kita tepis
Terlalu jauh kita berjalan
Sampai pada satu simpang kesesatan.
Tersesat.

Dan...
Suatu nanti
Jalan tlah lebih dulu kau lewati
Aku menunggu di tepi
Terpunggungi yang hilang dalam saput pagi

Pergi, langkahmu terlampau jauh bagiku mengikuti
Terlalu banyak kepingan kenangan yang kita rangkaikan
Kau mengabaikan, sedang aku (mencoba) mengelupas dari ingatan 

Dan...
Terimakasih dengan sangat asih
Telah (dan tetap) mendampingi 
Sampai tegak berdiri (kembali)

Rantai waktu mengiring pergimu
Menghitung detik tak bisa berkutik
Merangkai doa tanpa sua, nantinya....



Kudus, 080120
Jiwa yang ragu tergerus rindu-


Rabu, 08 Januari 2020

Rengkuhan Sumantri




Masih belajar kebaikan yang benar-benar baik, sampai akhirnya mengerti itu baik.


Sukrasana kecewa, niat menolong kakaknya teringkari keegoisan semata. Sumantri sedih, niat untuk mengelabuhi terbalas kematian adik yang dikasihi.

Adalah tentang dimensi berbeda dari lakon dhalang yang dipersepsikan sebatas pandangan manusia biasa.
Semua tahu, Sumantri adalah tokoh yang ingin nyuwita (ngenger; mengabdi). Sebagai abdi, syarat yang diberikan tentu tak bisa dipungkiri. Mulai dari berperang melawan Manggada sampai memindahkan Taman Sriwedari, yang mokal baginya. Usai berperang melawan negara Manggada, dan berhasil memboyong putri dhomas serta Dewi Citrawati yang sangat diinginkan Bendaranya, ketamakannya muncul dengan menantang Arjuna Sasrabahu, Rajanya. Kalah tak bisa dielak. Dengan memohon, Bambang Sumantri, kesempatan kedua hadir sebagai penolong diri. Disyaratkanlah taman Sriwedari, sebagai ganti atas apa yang  telah terjadi. Tak hilang  akal, Bambang Sukrasana yang merupakan adik satu-satunya, menjadi jalan mulus menyalurkan keinginannya. Bambang Sukrasana, yang kekuatannya melebihi dirinya, dengan rela menolong terkasihnya. Dipindahkan dengan mudah Taman yang menjadi syarat akan diterimanya pengabdian Sang Kakak. Bambang Sukrasana tak pamrih, hanya ingin hadirnya tetap ada disamping Kakak yang sangat dicintanya. Dengan berat, Bambang Sumantri meminta syarat. Kepada Sukrasana, diajaklah adiknya asal tak mengganggu suwitanya. Yang terjadi, diluar kendali....

Sukrasana hadir mencari kakaknya, ditaman yang kala itu para dhomas mandi dengan asyiknya. Bak kedamaian yang terusik pelik, seketika taman riuh dengan Sukrasasa yang merasa merasa hadirnya sangat diharapkan kakaknya.
Arjuna Sasrabahu murka, diutuslah Sumantri mencari sebab akan ricuhnya taman kedamaiannya. Terbelalak Sumantri ketika mengetahui, Sukrasanalah yang berulah.
Marah tak terarah. Disiapkan panah sebagai penakut Sukrasana yang membuat ribut. Atas izin sang dewa, tanpa sengaja panah melesat, dileher Sukrasana panah itu mendarat. Sukrasana mati dengan janji. Kepergiannya disurga hanya ingin bersama kakaknya. Dipangkuan Sumantri, Sukrasana mati.


Ya, Sukrasana berucap janji. Kelak ia akan kembali, menjemput kakak yang telah merenggut nyawa adiknya sendiri. Tak bisa mengelak, Sumantri kalah telak. Ketika diutus menjadi Patih perang, melawang Raja Alengka yang murka akibat banjir menerjang, Sumantri mati akibat janji.
Sukrasana hadir dalam tubuh Rahwana, yang kala itu beradu dengan Sumantri, kakaknya.  Sumantri tak sampai hati, membunuh Rahwana dan yang dilihatnya adalah Sukrasana, adik yang dicintanya.
Ditangan Rahwana, Sumantri termakan janji. Terpenuhi ucap Sukrasana, menjemput kakaknya, ketika ajal sudah waktunya. Bersama Sukrasana, Sumantri moksa ke swargaloka.



Ah, Sumantri andai janji tak mudah terucap dilisanmu, tak akan kau rengkuh jasad adikmu. Bersama janji yang tak tertepati, Sukrasana menjemputmu, diajalmu.

Kekecewaan akan ada untuk janji yang tak tertepati kiranya.
Ingatase abdi, lakoni sabisane apa kang dadi titahe Gusti. Aja mburu muluk, yen pungkasane mung gawe liyan ngluruk. 

Kisahmu akan dikenang, Sumantri. Sebagai satria yang tetap memegang teguh keutamaan atas dasar keinginan. Kebaikanmu di pengabdianmu, biar menjadi tauladan sendiri dari sudut pandang kami. Sumantri....


Selasa, 07 Januari 2020

C I N T A



Gelombang Cinta

Tanaman dari Kingdom : Plantae berspesies Anthurium Plowmanii ini siapa sih yang tidak mengenal. Tanaman yang sempat booming pada zamannya sekitar 12tahun yang lalu, dimana atmosfer manusia sangat merasa kaya jika punya tanaman ini di halamannya. Tanaman yang dulunya sempat dijual dengan harga ratusan ribu bahkan jutaan di tiap helainya, kini hanya tinggal nama dengan kenangan 'keartisannya'.


Melihat tanaman gelombang cinta jadi ingat suatu rasa yang nikmatnya luar biasa bagi yang merasa, dan terbuai didalamnya apabila sedang dilanda. C I N T A. Satu kata yang mengubah segalanya. Ah, mungkin atmosfernya juga sama dengan tanaman itu, nikmat diawal dan diakhir kadang tinggalkan pilu. 



Cinta adalah anugerah, bagi siapa yang merasakannya begitu indah jika dilandasi dengan syukur yang Istiqomah. Dimana jika termaknai positif akan menerima kebaikan dalam perlakuan. 



Jadi, selamat menikmati C I N T A; semoga tak semenyengsara gelombangnya. 

Senin, 06 Januari 2020

Emp(a)ty



Hari ke-6.

Tergelitik hati menikmati ini.

12.05 WIB.
Undangan tersebar melalui pesan elektronik, dua hari yang lalu.
Kali ini berbeda. Menunggu 20 menit lamanya tanpa ada gemingan langkah sesalan keterlambatan. Ah, Senin ini memang beda. Jam pelajaran tak seperti biasanya. Hujan tak kunjung reda, upacara-pun tiada. Istirahat yang seharusnya terjeda lama, kali ini harus menerabas karena terpisah hanya bikin resah.

Mencoba memahami.
Kesempatan ini hanya ingin mengajari. Rasa empati tak hanya sekedar meng-iya-kan diri.
Berbagi dalam segala kondisi, dengan hati riang, beraktualisasi.

Semenit, di pukul 12.06WIB, datang satu badan dengan harapan tertinggal dan dengan langkah percepatan. Ternyata harapan tak sesuai realita. Begitu adanya. Yang diharap berempati, yang didapat empty. Selanjutnya, melalui cara sedikit memaksa, mulai berdatangan 1, 2, 3 dan seterusnya sampai ber-15 berkumpul bersama.
Tersepakati apa yg tersosialisasi. Semoga mampu menjadi jariyah sampai akhir nanti.

Nak, lepas dari apa yang kau berikan, semoga empati-empati yang tersalurkan biar menjadi hiasan kebaikan. Tetap dan terus hiasi hati dengan dengan empati, jangan sampai empty. 


Rembang, 6 Januari 2020
Ibu yang menunggumu, wahai insan yang berilmu

Minggu, 05 Januari 2020

Konah Matun


Dina kaping 4 (hari ke-4)

Gerimis yang sedari pagi menyapa manja, menyurutkan langkahnya mengayunkan sepeda. Konah diam, dalam mendung yang kian kelam. 

Hari ini rencananya, Konah bertandang di pematang. Sawah yang tinggal sekedhok peninggalan ayahnya, hari ini akan digarapnya. Konah bingung. Tak biasa ia terjun di lumpur. Ibunya yang biasa mengerjakan semua, terpaksa harus menurunkan kewajibannya kepada Konah. Tak sanggup. 

Konah melamun. Hari ini ia harus matun. Kata Ibu, hama rumput semakin merenggut. Terdengar alunan lagu dari radio tua warna biru. 

Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki....

Penggalan lagu Didi Kempot itu, seakan mengantar Konah untuk berbenah. 
Sebelum suket teki meninggi ia harus segera pergi. Diambilnya caping lontar yang menggantung tiang. Sepeda diayuhnya menerobos rintik gerimis yang gemericik. 
Betul saja, sesampainya dipinggiran sawah, ia melihat beberapa orang telah tandang. Ada yang ndhaut, tandur, nata winih, dan ndhisel. Semua terlihat sibuk menata sawahnya. Konah terpaku. Bingung antara melaju atau kembali berbalik melapor ibu. 

Diantara sibuknya mereka, mata Konah tertuju pada segerombolan Ibu-Ibu yang membungkung dengan tangan  kiri menggenggam tanaman padi, dan tangan kanan berirama menanam padinya. Sesekali tampak mereka ngolet pertanda lelah mulai melanda. 

Lamunan Konah buyar, kala terik memtari sedikit memudar dari mendung yang liar. 
Ah, hari semakin siang. 
Konah segera menuju sawahnya. Sebelumnya, telah dipesan Ibunya, tugas Konah adalah matuni rumput yang hidup diantara bibit tanaman padi yang baru sekitar seminggu ditandur. Ah, mudah. Pikir Konah. 

Mulai dibungkukkan badannya, sesembari matanya menelisik diantara tumbuhan padi yang baru semi. Tak ada, ia pindah di sebelahnya. Begitu seterusnya. Sampai ia menemukan rerumputan yang menjulang lebih tinggi sebagian. Dicabutnya. Berpindah lagi, mencabut lagi, berpindah lagi. Sempat sekali ia hampir terjatuh merasa punggungnya semakin rapuh. 
Konah berhenti, tatkala hujan menemani tak mau pergi. Semakin menjadi. Sesegera menuju galengan. Ia istirahat. Duduk di cangkruk buatan ayahnya. Konah berteduh. Ia membuka bekal dari plastik tebal. Sembari makan tela godhog, ia mengeja. 

Hidup memang layaknya menanam padi. Kebaikan yang disemai bak benih, ditanam dengan tandur (ditata karo mundur; ditata dengan cara jalan mundur) agar kita melupakan yang telah kita tanam, dan terus menanam lahan yang masih gersang. Jika suatu saat tumbuh rumput (kejelekan) maka, patutnya kita cabut. Jika waktunya tiba, maka panen-pun akan kita terima. Hanya tinggal menunggu waktu. 

Tak terasa hujan mulai menghilang. Konah bergegas pulang. Konah, tugasmu belum selesai. Rumput itu akan terus tumbuh, Nah....


------------------------------------------------------------------------
Catatan:
Istilah pekerjaan petani: (Sumber: Kamus Bausastra)
1. dhaut
: I ki 1 ompong; 2 pupak (ganti untu); 3 puput pusĂȘr; □-an ki: slamĂȘtan (jagongan) puputan. II kw: budhal, bedhol (tmr. prajurit) di-□: kw. dibĂȘdhol, dijabut; 2 kn. dibĂȘdholi (tmr. winih pari arĂȘp diĂȘlih ditandur ing sawah).
(Mencabut tanaman padi yang berusia sekitar 3minggu untuk dipindah ditanam di sawah)
2. tandur
: n. tanĂȘm k. 1 pari sing ĂȘnom (thikilan); 2 nyĂšblĂȘkake winih pari ana ing sawah; di-□. 1 dicĂšblĂȘkake (dipĂȘndhĂȘm) supaya thukul tmr. winih (wiji thikilan); 2 diurit, didhĂȘdhĂȘr; 3 pc. ks. dipĂȘndhĂȘm, dikubur; di-□-i. didokoki tanduran; (tĂȘ) □-an. apa-apa sing ditandur, tĂȘtuwuhan.
(Menanam tanaman padi di sawah)
3. winih
: kn. 1 wiji pari; 2 bibit; 3 ĂȘngg. kewan sing dipurih nurunake; 4 dhadhakan jalaraning pĂȘpadon lsp.
(Bibit tanaman padi yang berusia sekitar 3 minggu)
4. matun
: kn. mbubuti sukĂȘt lsp. ing tĂȘgal ut. sawah; kc. watun.
(Mencabut rumput; yang dianggap tanaman hama di sawah)

Sabtu, 04 Januari 2020

SRUNDENG



Senja di suatu masjid....
Si Ibu dengan lima anaknya. 
'Eh, Ibu duwe jajan.' (Eh, Ibu punya jajan).
'Apa, bu?' tanya salah satu dari mereka. 
'Coba wae.' (Coba saja)

Dibuka makanan yg berkemaskan semacam kertas aluminium. Tampak sisi depan bertuliskan Srundeng Tradisional Rahayu.
Ditumpahkannya sedikit ditelapak tangan, dengan pasti dituangkan ke mulut. 
'Kres, kres, kres....' tampak riuh kunyahan mereka setelah srundeng berpindah tangan lainnya. 

'Enak, ya?' tanya si Ibu. 
'Nggak enak, bu' jawab si bongsor dengan mulut yang nyambi ngunyah. 

Begitu seterusnya, hingga tersisa sepertiga. 

Pagi tadi...

'Buuuu'
Belum sempat terjawab pesan elektronik itu, kembali masuk pesan lainnya. 
'Kemarin beli srundengnya dimana?' selidik si bongsor lainnya paling gendut diantara mereka, yang makan srundeng. 
Dibalaslah pendek oleh si Ibu. 'Oleh-oleh dari Jogja'. 
'Nggih mpun'. (Ya sudah).


Srundeng, makanan sederhana dari seorang Ibu yang menerima oleh-oleh dari anaknya.
Tak semewah di restoran megah, mampu menciptakan kehagatan yang renyah, bahkan mampu membuat tanduk untuk kembali mengunyah.
Srundeng, makanan tradisional yang akan tetap moncer. Tak tersisih meski pelbagai makanan luar semakin menebar bak buih.


-----------------------------------------------------------------------
Srundeng: (kn) gorengan parudan klapa. (Kamus Bausastra)

Kamis, 02 Januari 2020

A(n)DIL


Hari ke-3

Hari ini melihat setumpuk disposisi dalam satu bendel yang berisi. Mulai membuka, yang ternyata isinya sekumpulan disposisi selama setahun utuh. Masih sama, belum tersentuh untuk mengabadikan dalam buku 'agenda surat masuk' yang mulai lusuh.

Buruk sekali, kamu di tahun itu. Bualku, kesal. Menyesal. Bagaimana setumpuk disposisi hanya mampir ditangan, dilaksanakan, kemudian kembali masuk map tanpa terarsipkan.

Sebatas itu mengajari siswamu? Kembali pertanyaan mampir berputar dalam otak yang kian mengalir. Sebentar lagi akan datang disposisi-disposisi yang siap untuk kau tangani.
Ha,ha,ha. Terlale pede sekali, Anda, saudara.😎😎

Bukan.
Disini tidak akan kulanjutkan tentang cerita disposisi-disposisi yang seabrek, sementara tubuh (sempat) hampir ringsek, dan kegiatan berlanjut, pastinya dengan segudang persiapan yang sampai bikin hidung mampet.đŸ˜”đŸ˜”đŸ˜”

Baiklah, kembali dimana slogan sekarang bukanlah ikhlas bakti bina bangsa, tetapi menjadi ikhlas bakti binasakan.

Hmmm,
Pernah suatu fajar mendengarkan pengajian kitab Al-Hikam, seperti ini yang dingendikakake  sama Kyai musoneb. 'Hadirkan Allah dalam setiap apa yang kita lihat, kita kerjakan, disekitar.'  Jika ada yang marah, dialah yang digerakkan Allah untuk menguji kesabaran kita. Jika ada yang memuji, maka dia digerakkan Allah untuk mengingatkan kita menambah rasa syukur. Dan masih banyak kehadiran-kehadiran Allah di motor, di lampu, di mobil, di pohon, bahkan di partikel terkecil sekalipun yang ada dibumi. Bukan, bukan kita mewujudkan Allah sebagai motor, mobil, pohon, dan yang lainnya. Membuka sudut bagaimana Allah bisa menggerakkan tangan manusia untuk merakit yang rumit atau menggerakkan yang secara nalar tak bisa digerakkan.
Hadirkan Allah. Allah dulu, Allah lagi, dan Allah terus. Begitu seterusnya. Sebagaimana kepercayaan itu hadir dalam tubuh dan langkah untuk tetap melaksanakan disposisi-disposisi ini. Allah begitu andil dalam menggerakkan apa yg terjadi dalam hidup kita. Sangat, sangat, sangat andil. Maka adilkan dirimu dalam pengandilan itu.

I believe Allah will bless me

Rembang, 03022020
Staf kesiswaan yang menanti datangnya disposisi

------------------------------------------------------------------------------------

Catatan:
1. disposisi/dis·po·si·si/ n 1 Adm pendapat seorang pejabat mengenai urusan yang termuat dalam suatu surat dinas, yang langsung dituliskan pada surat yang bersangkutan atau pada lembar khusus;  (KBBI daring).
2. Dalam instansi penulis, disposisi dibedakan dalam 3 warna:
a. Warna biru : ditujukan untuk siswa
b. Warna kuning : ditujukan untuk guru
c. Warna merah muda : ditujukan untuk siswa dan guru.

Ber-AWAL



Pukul 10.40 WIB.
Aku masih terdiam, belum terpikir apa yang akan kuberikan. Tetiba ingat, sebuah coretan dalam buku kenangan.
Baiklah, akan kulakukan apa yang seharusnya kulakukan. Masuk kelas dengan bermodal satu buku pegangan. Sesampainya disana, sangat asyik bagi mereka yang hampir dua minggu tak bersua. Ya, hari ini adalah hari pertama pasca liburan akhir semester genap. Setelah salam, kusampaikan maaf karena terlambat masuk kelas.
"Baiklah, tidak akan ada materi pelajaran hari ini" kataku, singkat.
"Ye...ye...ye..." Sontak sekelas riuh dengan pernyataanku yang baru saja kulontarkan.
"Buku pendamping (LKS) sampun dicek, boten wonten sing kirang, ya?" tanyaku.
"Boten, Bu."
"Tutup semua, mari kita berdo'a."
Mereka saling pandang. Masih ada beberapa riuh di sudut kelas.

"Anakku" sapaku pelan. "Ingatlah, ini awal kalian di semester genap. Artinya waktu yang tersisa disini tak kurang dari tiga bulan."

Ada beberapa yang fokus, dan ada beberapa yang sengaja mengerutkan dahi, menunduk. Pertanda sudah mulai paham arahku kali ini.

"Buka, kertas atau pembaran apapun yang bisa kalian jadikan media menulis."

Riuh kembali ketika beberapa ada yang merobek bagian buku. Meminta, atau bahkan sengaja membagi kembali menjadi beberapa bagian setelah merobek dari buku.

"Tundukkan kepala bersama. Izinkan Ibu menuntun kalian."

Diam.

"Bismillahirrahmanirrahim. Yaa Rabbku, Tuhan Yang Maha Baik. Sungguh hari ini kami bersama menundukkan kepala. Kami bermimpi bukan tentang apa yang kita inginkan. Ini adalah tentang cita, cinta, dan harapan untuk orang yang tersayang."

Kulihat ada yang semakin larut dalam tundukan.
"Rabb-ku" lanjutku, "Kami hanyalah insan yang selalu meminta, izinkan kami menulis apa yang menjadi impian kami demi yang kami kasihi. Jernihkan pikiran kami, mantapkan hati kami, teguhkan langkah kami. Sungguh apa yang kami jalani hanyalah semata membahagiakan orang yang kami sayang. Rabb-ku, ini bukanlah akhir langkah kami. Biarkan kami meminta untuk mereka." Diamku memberi jeda.

"Rabbanaa atinaa min ladunka rahmah. Wahayyi'lanaa min amrinaa rasyadaan."
"Anakku, tuliskan apa yang menjadi harapan kalian, dikertas yang sudah ada di hadapan kalian. Anggaplah itu sebagai coretan cambukan untuk kalian. Silakan menulis."

Kulihat sebagian ada yang masih menundukkan pandangan dengan khusyuk meminta kepada Sang Khalliq.

"Tuliskan, nak. Ini adalah awal kalian menulis mimpi kalian. Jika suatu saat kalian membaca kembali dan saat itu telah kau raih apa yang telah kau tuliskan, itu adalah pencapaian kalian. Dan jika suatu saat kau baca kembali, dan belum berhasil apa yang telah kau tulis hari ini, maka, itu adalah takdir yang harus kau jalani."

Sesekali aku menepuk pundak yang begitu kuat dengan segala harapan. Mengusap kepala yang penuh dengan beban. Tak lupa kuacungi jempol untuk mereka yang dengan begitu semangat menuliskan impian-impian mereka.

Terakhir, dan yang paling akhir.
"Al-Kahfi ayat 10, Al-Insyirah, Shalawat, amalkanlah, nak. Karena ikhtiar dan tawakal adalah satu kesatuan yang harus berjalan beriringan."

-Anakku, ini awal mimpimu. Selamat berjuang mewujudkan.-

Rembang, 02012020
Ibu yang mengajar di kelas XII dan melihat mimpi di matamu.