Dina kaping 4 (hari ke-4)
Gerimis yang sedari pagi menyapa manja, menyurutkan langkahnya mengayunkan sepeda. Konah diam, dalam mendung yang kian kelam.
Hari ini rencananya, Konah bertandang di pematang. Sawah yang tinggal sekedhok peninggalan ayahnya, hari ini akan digarapnya. Konah bingung. Tak biasa ia terjun di lumpur. Ibunya yang biasa mengerjakan semua, terpaksa harus menurunkan kewajibannya kepada Konah. Tak sanggup.
Konah melamun. Hari ini ia harus matun. Kata Ibu, hama rumput semakin merenggut. Terdengar alunan lagu dari radio tua warna biru.
Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki....
Penggalan lagu Didi Kempot itu, seakan mengantar Konah untuk berbenah.
Sebelum suket teki meninggi ia harus segera pergi. Diambilnya caping lontar yang menggantung tiang. Sepeda diayuhnya menerobos rintik gerimis yang gemericik.
Betul saja, sesampainya dipinggiran sawah, ia melihat beberapa orang telah tandang. Ada yang ndhaut, tandur, nata winih, dan ndhisel. Semua terlihat sibuk menata sawahnya. Konah terpaku. Bingung antara melaju atau kembali berbalik melapor ibu.
Diantara sibuknya mereka, mata Konah tertuju pada segerombolan Ibu-Ibu yang membungkung dengan tangan kiri menggenggam tanaman padi, dan tangan kanan berirama menanam padinya. Sesekali tampak mereka ngolet pertanda lelah mulai melanda.
Lamunan Konah buyar, kala terik memtari sedikit memudar dari mendung yang liar.
Ah, hari semakin siang.
Konah segera menuju sawahnya. Sebelumnya, telah dipesan Ibunya, tugas Konah adalah matuni rumput yang hidup diantara bibit tanaman padi yang baru sekitar seminggu ditandur. Ah, mudah. Pikir Konah.
Mulai dibungkukkan badannya, sesembari matanya menelisik diantara tumbuhan padi yang baru semi. Tak ada, ia pindah di sebelahnya. Begitu seterusnya. Sampai ia menemukan rerumputan yang menjulang lebih tinggi sebagian. Dicabutnya. Berpindah lagi, mencabut lagi, berpindah lagi. Sempat sekali ia hampir terjatuh merasa punggungnya semakin rapuh.
Konah berhenti, tatkala hujan menemani tak mau pergi. Semakin menjadi. Sesegera menuju galengan. Ia istirahat. Duduk di cangkruk buatan ayahnya. Konah berteduh. Ia membuka bekal dari plastik tebal. Sembari makan tela godhog, ia mengeja.
Hidup memang layaknya menanam padi. Kebaikan yang disemai bak benih, ditanam dengan tandur (ditata karo mundur; ditata dengan cara jalan mundur) agar kita melupakan yang telah kita tanam, dan terus menanam lahan yang masih gersang. Jika suatu saat tumbuh rumput (kejelekan) maka, patutnya kita cabut. Jika waktunya tiba, maka panen-pun akan kita terima. Hanya tinggal menunggu waktu.
Tak terasa hujan mulai menghilang. Konah bergegas pulang. Konah, tugasmu belum selesai. Rumput itu akan terus tumbuh, Nah....
------------------------------------------------------------------------
Catatan:
Istilah pekerjaan petani: (Sumber: Kamus Bausastra)
1. dhaut
: I ki 1 ompong; 2 pupak (ganti untu); 3 puput pusêr; □-an ki: slamêtan (jagongan) puputan. II kw: budhal, bedhol (tmr. prajurit) di-□: kw. dibêdhol, dijabut; 2 kn. dibêdholi (tmr. winih pari arêp diêlih ditandur ing sawah).(Mencabut tanaman padi yang berusia sekitar 3minggu untuk dipindah ditanam di sawah)
2. tandur
: n. tanêm k. 1 pari sing ênom (thikilan); 2 nyèblêkake winih pari ana ing sawah; di-□. 1 dicèblêkake (dipêndhêm) supaya thukul tmr. winih (wiji thikilan); 2 diurit, didhêdhêr; 3 pc. ks. dipêndhêm, dikubur; di-□-i. didokoki tanduran; (tê) □-an. apa-apa sing ditandur, têtuwuhan.(Menanam tanaman padi di sawah)
3. winih
: kn. 1 wiji pari; 2 bibit; 3 êngg. kewan sing dipurih nurunake; 4 dhadhakan jalaraning pêpadon lsp.(Bibit tanaman padi yang berusia sekitar 3 minggu)
4. matun
: kn. mbubuti sukêt lsp. ing têgal ut. sawah; kc. watun.
(Mencabut rumput; yang dianggap tanaman hama di sawah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar